Cerpen Kesaktian Batu Sang Pemimpin Oleh Eka Yuliarti
Senin, 23 Maret 2020
Tulis Komentar
Kesaktian
Batu Sang Pemimpin
Karya
Eka Yuliarti
“Saya kira sulit memilih kandidat yang tepat,
karena hampir semuanya memperlihatkan bukti kesaktian batu tersebut. Namun, ada
satu kandidat yang tidak menunjukkan keajaiban apa pun ketika batu tersebut ada
padanya, seolah-olah ia memang bukan orang yang tepat.”
Desa Tolak Bala adalah desa yang subur tempat
panen hasil bumi yang meruah, sawah terbentang sepanjang mata memandang, banyak
budidaya empang, banyak peternakan, hasil cocok tanam banyak yang subur, segala
rempah, dan beras melimpah, serta berkehidupan makmur sentosa. Orang-orangnya
ramah-tamah, berbudi luhur, dan sederhana. Bisa jadi kepala desa yang akan terpilih
nanti dicanangkan akan diberi sebagian budidaya empang, peternakan, bahkan
berbidang-bidang sawah.
Para
kandidat kepala desa segera dikumpulkan oleh panitia pukul 9 pagi di pos
terpadu desa. Di depan sekian banyak warga Desa Tolak Bala, 4 kandidat duduk
dengan memperlihatkan mimiknya masing-masing. Pak Danang dengan senyum
bangganya, Pak Jujur yang tak berhenti senyum malu-malu, Bu Susi yang datar,
dan Pak Sardi dengan wajah seperti ingin menerkam, membuat warga hilang selera
kala melihatnya.
Dimulailah
acara yang telah bertahun-tahun biasa dilakukan warga untuk memilih calon
kepala desa, acara berpidato. Kandidat diwajibkan berpidato di depan warga
untuk mengemukakan visi, misi, dan janjinya dengan batasan waktu pidato
maksimal 30 menit. Selain itu, para kandidat juga diharuskan memberikan hiburan
setelah pidato usai. Ini bagian terpenting, tertulis dalam lembaran panitia,
dengan tinta merah. Tak ingin membuang waktu, karena warga sudah gusar, panitia
penyelenggara pun segera membuka acara dengan pidato singkat, kemudian
mempersilahkan pidato pertama yang akan diisi oleh Pak Jujur.
Pak Jujur
kemudian berdiri dan memulai pidatonya, namun sekonyong-konyongnya datang
seorang pria berusia 30-an yang langsung mengambil alih mic dari Pak Jujur.
Pria tersebut adalah Pak Surya. Ia berperawakan tinggi dan berbadan tegap,
memakai pakaian yang dimasukkan ke dalam celana, dengan memperlihatkan ikat
pinggangnya, tas cokelat selempang yang keseluruhan tampak seperti pegawai
negeri kata sebagian orang. Kumis dan jambangnya yang khas, hidung mancung,
bentuk wajah mirip orang Pakistan, tampan menawan. Warga seketika terhanyut dan
memandang pemandangan yang jarang-jarang ini.
“Halooo ... tes ... tes ... yang di belakang
masih bisa dengar suara saya? Oke, saya lanjut. Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh,
selamat pagi semua.
Sebelumnya saya mohon maaf kepada ibu-bapak sekalian atas
gangguannya tadi. Jadi, saya berdiri di sini selaku ketua panitia pemilihan
memohon maaf sebesar-besarnya atas keterlambatan saya, karena ada urusan
penting mendadak yang harus diselesaikan. Pertama-tama saya ucapkan terima
kasih kepada kandidat yang sudah hadir di tengah-tengah kita, panitia yang
telah mengatur jalannya acara, dan warga Desa Tolak Bala yang meluangkan waktunya
untuk menyempatkan hadir dalam acara ini. Saya berpikir bahwa ajang mengenal
para kandidat sebaiknya tidak mesti dilakukan dengan cara berpidato.”
Warga kebingungan dan kembali riuh karena
acara pidato adalah hal yang biasa mereka adakan ketika masa pemilihan calon
kepala desa yang baru. Warga tidak terpikirkan untuk mengganti acara tersebut.
Dalam kerumunan warga, terlihat lelaki paruh baya yang tampak masam mendengar
hal tersebut, kemudian ia menyela dengan suaranya dengan lantang.
“Maaf Mas Surya, yang benar saja mengganti
acara pidato ini! Selama ini warga telah menjalankan acara pidato itu
turuntemurun, warga di sini juga sudah merasa klop dengan acara itu, ya
sudahlah jangan dipersulit, aku takut nanti acara berantakan dan kita malah tidak
punya pemimpin desa. Kalau mau diganti, lalu dengan cara apa?” tegas Pak Karto
meragukan Pak Surya.
“Betul itu pak, saya setuju,” ujar Bu Marni,
salah seorang warga menimpali.
Mendengar
perkataan tersebut, Pak Surya kemudian tersenyum sembari mengeluarkan sesuatu
dari tas selempangnya dan diperlihatkanlah barang itu di hadapan seluruh orang
yang hadir. Sebuah kotak hitam sederhana, kira-kira sebesar genggaman orang
dewasa. Warga terpaku dan hening. Pak Surya membuka kotak tersebut, tampaklah
seonggok batu lonjong bertekstur halus berwarna abu-abu, kebiruan.
“Ini adalah sebuah batu yang di dalamnya
tersimpan kekuatan yang luar biasa. Tampilannya memang seperti ini, tetapi
sungguh batu ini dapat mengungkapkan hal yang tak terduga. Saya telah mencobanya
kesekian kali dalam pemilihan pemimpin apa pun, dan sudah terbukti
kesaktiannya. Kesaktian batu ini hanya akan terlihat jika digunakan oleh
pemimpin desa yang tepat. Batu ini akan saya berikan kepada para calon kepala
desa dan akan mereka simpan secara bergilir.”
“Selanjutnya,
mari kita lihat siapa di antara mereka ini yang mampu memancing kekuatan luar
biasa dari batu tersebut,” ujar Pak Surya dengan senyum mantapnya.
Para
kandidat yang dari tadi mendengarkan Pak Surya, terlihat berpikir keras, mereka
sama-sama mengernyitkan dahi.
Keheningan
warga kemudian berubah menjadi sorak sorai yang menggembirakan. Warga Desa
Tolak Bala yang hadir percaya akan kesaktian batu tersebut dan segera
menyebarkannya kepada warga lain. Kesaktian batu ini kemudian tersiar ke
seluruh penjuru desa, termasuk para sapi.
***
Kehadiran Pak Karto ke rumah Pak Danang disambut
oleh pemilik rumah dengan wajah gempal dan rambut yang baru saja disemir. Rumah
yang dibangun tidak memiliki tetangga ini tampak sedikit hidup ketika ada yang
mengunjungi. Berlokasi di depan tempat peternakan ayam miliknya, rumah seluas
lapangan tenis ini adalah saksi bisu kesuksesan pengusaha ayam ini.
“Sudah kau siapkan apa yang kuminta, kan?”
“Beres
semua itu, pak, sudah saya siapkan semuanya. Saya jamin warga bakal percaya dan
akan memilih bapak.”
“Bagus, Itulah yang saya inginkan. Buat saya
terlihat seperti Multatuli versi baik.”
“Beres, pak! Omong-omong saya boleh minta
kopi, pak?”
Pak Danang
kemudian memanggil pembantunya dan memintanya menyuguhkan 2 gelas kopi beserta
2 piring kulit ayam goreng. Pagi ini terlihat cerah membiru, dikelilingi
pepohonan yang tinggi, udara yang terhirup membuat segar, di tengah pedesaan
yang sedang musim pemilihan kepala desa.
***
Dikenal ramah oleh para warga, begitulah citra
Pak Jujur di hadapan para warga desa. Hampir-hampir setiap Pak Jujur berpapasan
atau sekedar melewati warga, selalu ada yang menyapanya, seolah tiada yang bisa
menolak keinginan untuk menyapa Pak Jujur, termasuk anak-anak kecil dan
segerombol domba di lapangan. Peci merah bata adalah ciri khasnya, kemeja lengan
panjang melipis, dan senyum malu-malu yang selalu dibawanya.
“Selamat pagi. Assalamuaalikum, pak kades,”
sapa Pak Surya ketika berpapasan dengannya.
“Waalaikumsalam, selamat pagi, saya kan sudah
tidak jadi pak kades lagi, pak, kok sampeyan masih panggil saya begitu, saya
jadi enggak enak.”
“Oh iya pak maaf, saya merasa bapak masih
cocok jadi kades sih, pak, lagi pula
sewaktu bapak masih menjabat jadi kades,
saya kan sudah biasa menyapa bapak dengan panggilan kades, pak.”
“Ya sudah jika sampeyan berpikir begitu, saya
heran, sampeyan kan baru tinggal di desa ini akhir-akhir masa saya jadi kades,
kan? Berarti sekitar 5 bulan yang lalu, toh? Tapi, sudah akrab sekali dengan
warga ya, sampai-sampai dipercaya jadi ketua panitia pemilihan. Weleh-weleh
sampeyan ini benar-benar bejo! Jangan
lupa sampeyan dukung saya jadi kades lagi ya, supaya desa ini semakin maju.”
“Wah, siap pak, bapak baik, sih, pasti saya
dukung.”
“Ya sudah, saya permisi dulu mau menjenguk
warga desa sebelah yang sakit, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Wah, benar-benar pemimpin,” gumam Pak Surya
yang terdengar oleh Pak Jujur.
Sepanjang perjalanan, tidak henti-hentinya Pak
Jujur disapa dan diperlakukan ramah oleh para warga. Setapak demi setapak dalam
keramahan warga ia lewati, ketika di penghujung perbatasan desa, sembari
menghirup bersihnya udara pagi, Pak Jujur tersenyum lebar, hingga tampaklah
giginya yang putih, dengan kerutan di sekitar mata di wajahnya yang memerah.
***
Pagi-pagi
buta para warga dihebohkan oleh kejadian tidak terduga. Pasalnya, di lapangan
rumput besar tempat warga biasa berkumpul terdapat sebuah gundukan raksasa yang
berisi sembako beserta telur ayam. Para warga pun segera menghampiri gundukan
tersebut dan berniat mengambilnya.
“Wah-wah, saya terkejut! Apa ini? Banyak
sekali, tidak habis pikir, ini seperti berkah! Saya curiga jangan-jangan ini
bukti kekuatan batu sakti itu!” kata Pak Karto sumringah.
“Eh iya
betul, pak, mungkin. Memangnya batu itu sedang dipegang oleh siapa, pak?” tanya
Bu Marni penasaran.
“Setahu saya sih, bapak, ibu, batu itu masih
ada di Pak Danang.”
Warga
menggangguk dan saling bertatapan. Dari kejauhan Pak Surya mengamati dan
tersenyum. Di sebelah Pak Surya terlihat Bu Susi yang juga mengamati sambil
tersenyum sinis. Tidak jauh dari tempat Bu Susi dan Pak Surya, tampak Pak Sardi
dan Pak Jujur yang memperhatikan kejadian tersebut dari tepi lapangan, yang
berdekatan dengan jalan.
“Oooh begitu, jadi pak, sekarang, boleh
diambil, kan, berkah ini?” kata Bu Marni kemudian. “Wah, tentu, bu,” ujar Pak
Karto.
Warga pun
segera mengambil berkah tersebut dan beberapa saat kemudian, ludes tinggal
sisa-sisa butiran beras dan telur-telur yang pecah. Sembako tersebut dibagikan
untuk warga Desa Tolak Bala yang membutuhkan, sembari menyiarkan kabar
kesaktian batu yang tengah dipegang oleh Pak Danang.
***
Sudah
hampir sejam Bu Susi mondar-mandir di kamarnya untuk memilih baju yang akan dia
kenakan. Akhirnya pilihan jatuh pada gaun polos panjang berwarna hitam kebiruan
mengikuti bentuk tubuhnya yang langsing. Dilengkapi kerudung hitam bercorak
bunga putih yang menyisakan rambut di dahinya, Tidak lupa Bu Susi memoles
bibirnya dengan lipstik merah menyala. Ia tampak seperti wanita berusia 30
tahun, padahal umurnya menjelang 45.
Bu Susi
telah hadir dalam acara pengajian ibu-ibu yang biasa diadakan setiap minggu,
selepas asar. Kini giliran rumah Bu Marni yang jadi tempat berkumpul pengajian
itu. Bu Susi memberi salam dan senyum yang merekah. Begitu anggunnya, menjadi
perbincangan ibu-ibu pengajian yang hadir akan kekaguman tampilan awet mudanya.
Ketika pengajian dimulai, Bu Susi tiba-tiba
menjerit, jeritannya terdengar sampai ke luar, tetangga Bu Marni berdatangan.
Kemudian ia duduk diam dan menunduk. Digenggamnya erat batu itu, dan
diacungkannya tinggi batu itu oleh tangannya, sembari melontarkan kata-kata
bahwa ia dirasuki oleh jin dari batu tersebut. ibu-ibu yang hadir pada saat itu
sontak menghindar hingga ke sudut ruang tamu Bu Marni.
“Saya
sarankan kalian warga Desa Tolak Bala memilih Bu Susi sebagai kepala desa,
karena dia orang baik dan dapat diandalkan. Jika tidak, maka Desa Tolak Bala
ini akan dikutuk dan hancur,” kata Bu Susi dengan suaranya yang serak dan
berat.
Masih dalam keadaan kerasukan, Bu Susi yang
semula duduk, tiba-tiba kejang-kejang lalu jatuh pingsan dalam posisi tidur.
Setelah itu, ibu-ibu segera membangunkannya dan mendapati Bu Susi telah sadar
dari kerasukannya. Akhirnya tersiar kabar bahwa batu tersebut menampakkan
kesaktiannya pada Bu Susi.
***
“Pak Sardi,
gimana, tuh, dengan batunya?” sang ibu warung bertanya penasaran, sambil
melihat ke arah Pak Sardi yang tengah menenggak kopinya.
Sesudah kopinya ditenggak, ia langsung
membayar dan melihat ke arah si ibu warung dengan wajahnya yang garang tanpa
senyum. Setelah membayar, ia cepat-cepat meninggalkan warung berbelok ke
persimpangan kanan jalan dan menghilang dalam rimbunan pohon di sisi jalan.
Orang-orang yang berlalu lalang memperhatikannya dan enggan menegur. Kemudian
datanglah Bu Marni menghampiri warungnya.
“Oalah, ya
pantas enggak disapa, wong dia menatap saja sudah seram, apalagi bicara?” ibu
warung mulai membuka pembicaraan dengan Bu Marni.
“Iya bu, benar, saya takut sekali sama
wajahnya. Apalagi tatapannya itu, lho. Gelagatnya itu mencurigakan, seperti
bandar narkoba atau apalah itu! Sebenarnya saya sih kepengin menegur, Tapi ya
ogah kalau dia enggak senyum,” ujar Bu Marni.
“Oh ya, Bu Marni, sudah dengar kabar belum?”
“Kabar
apa?” kata Bu Marni sembari memilih gorengan yang tersedia di meja depan
warung.
“Ini soal
Pak Jujur, Bu Marni, Dengar-dengar dari warga tadi pagi, katanya dia bisa
melayang semenjak memegang batu itu bu! Dia melayang di depan rumahnya bu, lalu
dilihat oleh orang yang lewat.”
“Kalau begitu jangan-jangan dia yang terpilih
oleh batu itu.”
“Iya, saya sih, setuju saja, Bu Marni, wong
pak Jujur ramah dan enggak bikin seram seperti Pak Sardi.”
“Ibu, pisang gorengnya itu.”
“Oh iya, betul, aduh,” cepet-cepat ibu warung
menangani pisangnya yang hampir gosong.
“Saya beli pisang gorengnya juga ya bu, 5
biji.”
“Iya bu, siap.”
***
Di sudut
lorong ruangan yang gelap, ditemani cahaya lampu temaram, beberapa orang
bermantel hitam sedang mengadakan diskusi rahasia. Pin mengkilat bertuliskan
agen pemilihan tampak berada pada setiap mantel orang-orang tersebut. Malam
semakin larut dan dingin, mereka mulai melaporkan perkembangan dari tiap daerah
yang mereka tangani.
“Saya telah menjalankan misi saya, mereka
benar-benar tikus,” lapor salah seorang agen.
“Saya juga
sudah mengawasi desa dari awal, dan ternyata mereka masuk perangkap. Namun,
saya kesulitan menangani satu orang, dan besok adalah hari pemilihan kepala
desa,” lapor salah seorang di antara mereka yang berwajah Pakistan, sembari
mencopot kumis palsunya.
“Siapa?”
...
Tibalah
hari pemilihan kepala Desa Tolak Bala. Lapangan tempat warga berkumpul mulai
dihadiri warga dan beberapa pedagang yang ingin menjajakan dagangannya. Riuh
warga Desa Tolak Bala menggema, ingin mengetahui kandidat terpilih yang akan
naik takhta menjadi raja Desa Tolak Bala ini, pasalnya warga sudah menantikan
pesta besar untuk memeriahkan terpilihnya sang kepala desa. Acara pun dibuka.
Empat kandidat duduk di kursi yang disediakan di atas panggung dengan wajah
harapharap cemas.
“Saya
kira sulit memilih kandidat yang tepat, karena hampir semunya memperlihatkan
bukti kesaktian batu tersebut. Namun, ada satu kandidat yang tidak menunjukkan
keajaiban apa pun ketika batu tersebut ada padanya, seolah-olah ia memang bukan
orang yang tepat. Saya jadi penasaran dengan jawaban Pak Sardi, Bagaimana
pendapatnya ketika batu tersebut seharian tampak seperti batu biasa dan tidak
menunjukkan kesaktian padanya?”
“Saya tidak
berpikir batu tersebut benar-benar sakti. Saya kira itu hanya batu sungai
biasa,” ia menanggapinya dengan tatapan garang seperti biasa.
“Seperti itukah? Benar, hanya para penipu yang
mampu menghadirkan kesaktian pada sebuah batu sungai biasa,” ujar Pak Surya,
ketua panitia penyelenggara pemilihan kepala Desa Tolak Bala.
Bandung,
20 Februari 2018
Belum ada Komentar untuk "Cerpen Kesaktian Batu Sang Pemimpin Oleh Eka Yuliarti"
Posting Komentar