Cerpen Dua Sosok, Lima Indera Oleh Joanna Dian
Senin, 23 Maret 2020
Tulis Komentar
Dua
Sosok, Lima Indera
Karya
Joanna Dian Oktavianie
Napas
lelaki itu memburu. Sosok lain dalam tubuhnya terbangun setelah tidur panjang.
Sosok yang menyebut dirinya bernama Bisma. Maka itulah rupanya; yang matanya
segera menyalang pada wajah yang berjarak dua meter di hadapannya. Muka yang
serupa, hanya rambut-rambut tipis yang tumbuh pada dagu dan pipi belakangnya
yang membedakan. Dengan jijik Bisma melihat rambut-rambut tipis tersebut. Dia
Heri, saudara kembar identik dari pemilik asli tubuhnya.
Yakin dirinya akan menang, tanpa ragu ia
menerjang. Dia tangguh dan kuat, tidak seperti Heru, Si Kepribadian Utama.
Dalam beberapa kali hantam, Heri sudah nyaris jatuh terkapar. Heri tertawa,
lelaki psikopat itu masih bisa tertawa nyaring. Memperlihatkan gigi-giginya
yang berdarah akibat serangan Bisma. Bisma geram dan terus menghajarnya tanpa
banyak bicara. Mendesaknya ke dinding gunung. Tubrukannya cukup kuat hingga
kerikil berjatuhan ke atas tubuh mereka, namun tidak dipedulikan.
Leher Heri sudah berada dalam cengkeramannya
ketika telinga mereka menangkap suara derap kaki berlarian mendekat. Awalnya
samar. Lambat laun kian jelas. Lalu muncul tiga orang berseragam di antara
gelapnya malam. Mereka berteriak dan meniupkan peluit panjang, bersahut-sahutan.
Bisma Si Pemberontak, mana mau berurusan dengan hukum. Dia mendesis kesal.
Cengkeramannya dari leher Heri, dia lepaskan. Segera, dua lelaki berupa serupa
tersebut berlari memisahkan diri.
***
“Kau sudah
siap?” tanya Heri tenang. Nadanya mengejek, tapi yang ditanya tak merasa. Dia
hanya mengangguk mantap. Lalu mereka bergerak merayap perlahan. Bersembunyi di
balik tembok rumah yang berjarak sekitar sepuluh meter dari rumah Si Calon
Korban. Ini sasaran mereka yang keempat, yang terakhir. Kalau mereka gagal,
korban satu, dua, dan tiga bisa ikut bicara, meski sudah tak bernyawa.
“Saya tidak
akan gagal ....” katanya seraya memperhatikan calon korban yang sudah masuk
rumahnya dalam kondisi setengah mabuk. Lalu menengok, “Habis ini, kalian
bersiaplah! Giliranmu dan Heru segera tiba.” Kali ini terdengar seperti
gertakan, namun tetap diakhiri dengan senyumannya yang khas. Seutas senyum
palsu yang ditariknya begitu lebar. Hingga membentuk garis-garis senyum yang
dalam. Dia selalu berusaha terlihat ramah. Entah supaya apa.
“Adikku yang malang. Kenapa juga harus berbagi
tubuh dengan seorang bujang yang harus kusingkirkan?” gerutunya kepada diri
sendiri.
Heri
terdengar sedih, tapi itu tidak mungkin benar. Bisma sangat mengenal Heri, dia
tidak mungkin berubah. Ingatan Heru tentang keburukan saudara kembarnya itu
tersimpan rapi dalam memori Bisma. Sejak awal kemunculannya, Bisma selalu
mencari cara untuk menantang Heri. Ia selalu menanti-nantikan saat itu. Waktu
di mana dia bisa membalaskan perbuatannya terhadap Heru. Beberapa hari yang
lalu, dibuatnya sebuah keputusan yang penuh resiko. Dia menghubungi Heri dengan
dalih meminta bantuan. Bisma beralasan ingin membuat perhitungan terhadap
teman-teman judi yang telah menjebak Heru.
“Oi, Bujang! Ada apa lagi kau hubungi saya?”
tanya suara di seberang. “Mau menantang bertarung? Memang kau mampu?” dia
terkekeh mencemooh. Bajingan tengik, batin Bisma.
“Aku butuh
bantuanmu,” jawab Bisma tanpa basa-basi.
“Lain hari
kau tantang saya, hari ini kau tiba-tiba memohon bantuan? Apa kau tidak punya
harga diri?” Heri diam menunggu tanggapan, tapi tak kunjung terdengar. Akhirnya
Heri memutuskan untuk menggunakan hening tersebut untuk berpikir. Lalu
sambungnya, “Tapi itu tidak gratis, Bujang ....” kata Heri. Terdengar jelas
bahwa dia sangat senang.
Bisma masih
terdiam. Dia menunggu Heri melanjutkan kata-katanya.
“Laki-laki atau perempuan?”
“Perempuan. Kekasih para penjebak Heru di
tempat judi,” jelas Bisma datar.
“Adik saya
tersayang? Si Keparat itu masih saja suka berjudi? Katakan padanya, dia itu
payah! Suruh dia lihat kekacauan yang dia buat! Sampai-sampai temannya rela
berlutut memohon kepada saya hahaha ....” tawanya sudah menghambur duluan
sebelum Bisma sempat menjauhkan gagang telepon dari telinganya. Suaranya
menyakitkan pendengaran.
“Jadi?” Bisma menanti jawaban.
“Kirimkan
lokasinya! Besok saya datangi.”
“Jangan
besok! Sekarang!” perintah Bisma.
Heri
mendesah lalu tertawa lembut. Bisma terdiam kaku, ia merinding. Dikatanya Bisma
sungguh tak sabaran. Ada benarnya, namun dia punya alasan yang kuat.
“Aku tak tahu kapan aku akan tertidur lagi!”
terang Bisma agak gusar. Sebisa mungkin tak terdengar kalau dia sedang menutupi
sesuatu yang lebih besar.
“Maksudmu
apa, Bujang?” tanya Heri tak mengerti. Dia masih belum tahu bahwa Bisma adalah
sosok lain yang hidup dengan meminjam tubuh Heru.
“Sudahlah!
Datang saja. Kukirimkan lokasinya sekarang,” Bisma menutup telepon. Sehabis
berkirim pesan, dia berangkat menuju tempat pertemuan.
Lokasinya
di daerah perumahan calon korban mereka yang pertama. Walau malam sudah mulai
larut, daerah tersebut masih cukup ramai. Bisma duduk berbaur dengan warga yang
sedang berkumpul di sebuah warung. Dia langsung berdiri ketika mengenali sosok yang
tampak mirip dengan dirinya. Janggutnya sempat membuatnya meragu sejenak.
Mereka saling menghampiri.
Heri
terkejut bukan main mengetahui bahwa Bisma adalah sosok yang dikenalnya sebagai
Heru. Dia menelisik bentuk dan garis wajahnya terkagum-kagum. Lalu
menggeleng-gelengkan kepala sambil bersiul panjang. Memang, selama ini Bisma
hanya menghubunginya lewat telepon, sedang Heru tidak mungkin mau bertemu
dengan dia.
“Lihat, fisikmu berantakan! Jangan sampai
membebani saya!” celoteh Heri ketika melihat tubuh dan wajah Bisma yang penuh
lebam, tak jelas karena apa.
Bisma diam
tidak menanggapi. Dia asyik mengamati penampilan Heri, terutama sepatu yang
dipakainya. Warnanya merah darah. Itu terlalu mencolok untuk digunakan saat
seperti ini. Dari samping, tampak jelas puncak kepalanya pitak di bagian
belakang. Tubuhnya dibalut jaket tebal berwarna gelap dan celana jeans belel
yang mungkin sudah lama tidak dicucinya. Kemudian dia terlarut dalam benci akan
wajah yang serupa dengannya itu, yang selalu tersenyum ramah apapun yang sedang
dilakukannya. Wajah milik salah seorang di balik terpecahnya karakter Heru.
Dalam hitungan menit, eksekusi pun dilancarkan
tanpa perencanaan. Bisma yang awalnya hanya ingin menculik, menjadi was-was
ketika di hari ketiga, mendapati korban-korban mereka sudah tak bernyawa. Heri
berpesta tanpa sepengetahuan Bisma. Ia menghabisi nyawa ketiga perempuan
tersebut di tempat persembunyian mereka. Bahkan Heri sempat memperlihatkan
ginjal-ginjal mereka pada Bisma sambil tertawa-tawa. Lalu menangis dan mengaku
dosa. Beruntung Heru tidak melihat satupun dari kengerian itu. Dipaksanya
supaya dia tidak tertidur. Hingga malam ini, malam ketiga, Bisma tetap
berkuasa. Heru yang lemah itu tampaknya masih terlalu takut untuk muncul. Atau
bisa jadi, keinginan Bisma yang kuat menahan Heru untuk kembali menguasai
mereka.
“Saya
lelah, Bujang .... Mari kita istirahat sejenak!” ajakan Heri membuyarkan
lamunan Bisma. Kala itu, Heri baru saja mencabut pisau dari dada korban yang
terakhir. Nasib korban ini nahas. Dia tinggal sendirian. Heri melihatnya
sebagai peluang emas. Tak perlu susah-payah memboyongnya ke tempat
persembunyian.
Bisma
mengangguk menanggapi ajakan Heri sebelumnya. Ia mengikuti Heri duduk di kursi
samping meja makan. Di sampingnya, masih tergeletak mayat korban yang sudah tak
berginjal. Tetapi, dia lebih mengwasi pergerakan lelaki jangkung yang sedang
duduk kelelahan di hadapannya itu. Berpatokan pada sepatu merah yang paling
mudah dilihatnya dalam gelap. Juga sedang mencoba mengukur waktu dengan bijak,
bisakah dia melakukannya sekarang?
Mata Sang Pelindung Heru tersebut masih terus
membayangi sepatu merah lelaki di depannya, ketika kaki-kaki itu perlahan
mendekatinya. Bisma menengadah. Dalam minimnya cahaya, dilihatnya Heri sedang
tersenyum lebar kepadanya. Diikuti garis-garis wajahnya yang membekas dalam
ingatan. Bulu kuduknya meremang. Bisma memandangnya takjub. Matanya menyiratkan
tanda tanya yang tak pernah diungkapkannya.
“Kenapa kau begitu penurut, Bujang? Kukira kau
ini pemberontak? Heh?” tantang Heri.
Bisma tak
menjawab. Dibalasnya tantangan Heri tersebut dengan sorot matanya yang tajam.
Di hadapan Bisma, senyum kembali mengembang di bibir gilanya.
“Kau
menjebak, Bujang?” Heri mendengus. Ia tertawa kecil. Perlahan tawanya jadi
bahak. Keras dan lama.
Bisma
berdiri memasang kuda-kuda ketika pembunuh psikopat di depannya masih terus
tertawa berderai-derai. Lelaki gila itu tak henti-hentinya mengatakan bahwa
Bisma bodoh. Dia mulai mengasihani Heru yang harus berbagi tubuh dengan lelaki
bodoh. Tapi kemudian dia bercakap lagi pada dirinya sendiri.
“Ya ampun,
terang saja dia bodoh, toh otak adik saya memang tidak mumpuni! Hahahaha ....”
Tak kuasa
membendung emosinya lagi, segera Bisma menghajar hidung Heri. Merasakan
sengatan yang luar biasa, Heri pun berhenti tertawa. Dia menatap tajam pada
Bisma. Lalu bibirnya komat-kamit, sambil tersenyum sinis sesekali.
Masih di dalam rumah korban, dengan mayatnya
di samping mereka, baku hantam terjadi. Tiba-tiba sesuatu dalam diri Bisma
memberontak ingin keluar. Heru ingin kembali berkuasa. Dengan susah payah,
Bisma terus bertahan. Dia harus memenangkan pertempuran ini dulu! Demi membalaskan
seluruh dendam Heru dan juga dirinya. Meski terdengar aneh, dia ingin
melindungi Heru, seseorang yang sebenarnya adalah bagian dari dirinya sendiri.
Heri
mengangkat kursi di ruang makan tempat mereka berkelahi. Lalu menusukkan salah
satu kakinya ke perut kiri Bisma. Bisma mengerang hebat dan jatuh tersungkur.
Wajahnya mencium lantai yang sudah digenangi darah korban. Ketika masih menahan
nyeri, tiba-tiba kakinya ditarik kuat. Tubuhnya terseretseret di atas lantai.
Dia meronta hingga alas kakinya terlepas dari asalnya.
Tepat ketika diseret melewati pintu, tangan
Bisma dengan cekatan berpegangan pada kedua sisinya. Ditendangnya Heri secara
serampangan. Mendapat serangan yang tak bisa dihindari, Heri melepaskan
cengkramannya. Cepat-cepat Bisma bangkit. Dengan sisa-sisa tenaga yang berhasil
dia kumpulkan, Bisma lari sekuat tenaga. Tak ada pilihan lain. Prioritasnya
kali ini adalah menjauhkan Heru dari Heri. Di dalam sana, Heru sudah semakin
meronta ingin berjaga. Akan sangat berbahaya jika mereka berdua bertemu. Mereka
bisa mati!
***
Sorot mata
yang awalnya sayu dan penuh ketakutan itu pun sudah berganti dengan sorot yang
tajam dan menikam. Dia penuh luka karena dendam yang selalu dibawanya dalam
tidur. Sepertinya sudah berhari-hari sosoknya tertidur tanpa tahu apa yang
terjadi pada tubuhnya. Lalu kembali terbangun ketika pemilik tubuhnya sedang
berada di tengah jalan beraspal. Dengan dinding gunung dan rerumputan tinggi di
masing-masing sisinya. Daerah itu dikenalnya sebagai tempat persembunyian Heri.
Dia lebih terkejut ketika melihat dia tengah berhadapan dengan orang gila itu.
Saudara kembar dari kepribadian utamanya yang ternyata tak bisa ia hindarkan.
Sekali
lagi, mereka harus kembali bertempur. Menyadari tubuhnya sedang dalam kondisi prima,
ia maju menyerang. Bisma yakin akan menang, andai saja tidak ada tiga orang
berseragam yang datang dengan teriak dan peluit bisingnya. Lagi-lagi dia harus
berlari. Sialnya lagi, dia tak mampu berlaga lebih lama. Entah mengapa, Heru
ingin menguasai situasi kembali. Sangat kuat. Di tengah pelarian, perlahan dia
menghilang. Seakan diizinkan untuk kabur dari kekacauan yang belum sempat
dibereskannya.
***
Jelas sekali ini bukan Bisma, sorot matanya sayu.
Bicaranya terbata, dia penuh keraguan. Namanya Heru, Sang Pemilik. Kali ini dia
duduk di salah satu deretan kursi di ujung sebuah ruang. Ruang itu, meski sudah
malam tetap menerima tamu asing seperti dirinya. Beberapa di antaranya
berpakaian biasa, hanya satu-dua orang yang memakai seragam. Seragam yang lain
dari tiga orang yang sebelumnya sempat mengejar Bisma, tapi tentu saja Heru
tidak tahu.
Ketika melihat seseorang yang berseragam,
Heru justru menghampirinya. Tanpa ba-bi-bu, dia langsung minta tolong pada
orang berseragam tersebut. Lalu diantar ke tempat ini; kantor polisi! Tempat
yang justru seharusnya ia hindari. Heru bilang dia ingin buat laporan,
sedangkan orang yang datang bersamanya ingin melaporkan dirinya.
“Pak Heru!” seorang polisi jaga memanggilnya
Ia tampak
masih linglung. Kemudian seperti terkena sengatan lebah, ia berdiri dan
mengaku
kalau namanya adalah Heru. Dia sudah hampir lupa dengan identitasnya sendiri
barangkali. Entah apa yang belakangan terjadi padanya.
Petugas
tersebut mempersilakannya untuk bicara. Juga seorang hansip--yang
sekarang
jumlahnya sudah bertambah menjadi tiga orang--duduk di samping Heru. Menghadap
pada petugas jaga.
“A ... Aku tahu pelaku kasus itu,” lapornya
singkat dan tidak jelas.
“Kasus apa? Tolong jelaskan!” seru polisi
berkumis di depannya. Kumisnya ikut naik turun saat dia bicara.
Dengan terbata Heru menjabarkan kesaksiannya
tentang pelaku kasus pembunuhan berantai yang belakangan ini jadi sorotan media
massa. Korbannya empat orang perempuan. Awalnya mereka diculik lalu kemudian
dibunuh. Keempat jenazah korban sudah ditemukan meski tanpa ginjal. Pelakunya
belum. Heru tidak tahu bahwa pelakunya adalah saudara kembarnya dan yang
meminta Heri melakukan itu adalah dirinya sendiri.
Polisi
berkumis di depannya dan tiga orang hansip di sampingnya mendengarkan dengan
rasa ingin tahu. Namun kemudian, tiga orang pria berseragam hijau di sampingnya
buruburu merasa sangsi. Memori mereka tahu, sikap laki-laki berusia dua puluhan
akhir di hadapan mereka ini menunjukkan inkonsistensi. Awalnya dia mati-matian
melarikan diri dari mereka, lalu tiba-tiba datang meminta perlindungan. Mereka
berpikir Heru sedang berdalih saja agar lepas dari kecurigaan.
“Ciri-ciri. Boleh saya tahu ciri-ciri orang
tersebut?” Heru tampak kembali berpikir. Terlihat ragu-ragu ketika ingin
mengungkap kata-katanya.
“Apa saja, ciri-ciri apa saja yang Anda ingat
....” pinta polisi berkumis dengan nada membujuk. Dia mencoba bersimpatik
dengan kondisi Heru.
Heru
berusaha mengingatnya sekuat tenaga. Beberapa bentuk wajah muncul di
ingatannya. Akhirnya dia berhasil mengingat Heri dalam lautan ingatannya yang
sudah dipenuhi kapal karam.
“Di ... dia
seorang lelaki muda, barangkali seumur denganku. Ummm ... Berjenggot dan
bertubuh jangkung. Terakhir kali, seingatku dia memakai mantel tebal ... dengan
celana jeans dan sepatu berwarna merah menyala seperti ... seperti darah! Umm
... lalu ... garis-garis mukanya akan terbentuk jelas ketika dia tersenyum
....” Heru menutup penjelasannya dengan keringat yang bersimbah di tubuhnya.
Tiga orang di sampingnya memperhatikan dirinya dari atas sampai bawah. Juga
mengamati butir-butir keringat yang mengucur di dahinya. Mereka semakin curiga.
Polisi di hadapannya mencatat keterangan tersebut. Tadi, beberapa kali dia
sempat ingin memotong penjelasan Heru, namun selalu diurungkannya kembali. Kini
pikirannya bertumpu pada hal yang lain. Dia mengamati lelaki di hadapannya
lekat-lekat. Heru jengah. Dia undur diri ke kamar kecil. Semua mengangguk
setuju sambil terus mengawasi.
Langkahnya
berat karena letih yang ditanggung. Kian berat ketika menyadari sepatu merah
yang dikenakannya saat itu. Persis seperti yang dipakai Heri dalam ingatannya.
Jantungnya berdetak kencang. Pikirannya bergemuruh. Dia semakin bergegas ke
kamar kecil sebelum ia merasa ditelanjangi oleh kecurigaan.
Di depan cermin, ketika sudah dia basuh
mukanya berkalikali dan kesadarannya sudah terkumpul, wajah keparat itu kembali
menghantui. Terlihat begitu mirip, hanya tanpa janggut yang menutupi dagu dan
pipinya. Di sana, bayangan cermin tersenyum kepadanya. Dia membalasnya dengan
garis-garis senyum yang hampir datang terlambat. Sekarang dia tahu dia merasa
marah. Selalu menjadi korban, bahkan karena ulah dari sosok yang hidup dalam
dirinya sendiri.
Jakarta, April 2018
Belum ada Komentar untuk "Cerpen Dua Sosok, Lima Indera Oleh Joanna Dian"
Posting Komentar