Cerpen Penjahit Telinga Oleh Benefitasari Intan
Kamis, 20 Februari 2020
Tulis Komentar
Penjahit
Telinga
Karya
Benefitasari Intan Nirwana
Dimeja kantin
tempat biasa kami makan bersama, aku menunggunya datang. Tapi karena sudah
diburu rasa lapar, aku memutuskan memesan duluan. Sahabatku itu memang orangnya
suka terlambat, sedangkan aku bukan orang yang suka menunggu. Jadi, kursi di
hadapanku masih kosong dan aku sudah bersiap menyuap nasi goring telurku ketika
sahabatku itu tiba-tiba datang sambil menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna
merah.
“Selamat ulang tahun!” serunya lantang.
Beberapa mahasiswa lain yang sedang makan di sana sampai menoleh.
“Dimana telingamu?” tanyaku ketika
melihat kedua sisi kepalanya yang berlubang.
Bibirnya langsung cemberut dan
keningnya berkerut. “Kejutannya gagal,” gerutunya sambil duduk di kursi di
hadapanku. “kamu sudah tahu.”
“
Dimana telingamu?” tanyaku sekali lagi.
Dia membuka
kotak merah yang dimaksudkan sebagai hadiah ulang tahunku itu. Disana terbaring
sepasang telinga yang masih lengkap degan anting-anting emasnya. Ada setitik
noda darah di telinga sebelah kiri. Pasti karena itu dia memilih memasukkannya
di dalam kotak berwarna merah, supaya ketidaksabarannya tersamarkan. Aku
melanjutkan menyuap nasi gorengku.
“Kenapa
harus telingamu? Dua-duanya, lagi.”
“Kamu lebih membutuhkannya daripada aku.”
“Perlu waktu lama untuk memasangnya.”
“Kamu mau aku menjahitkannya?”
“Tentu saja! Tapi, jangan lupa, jahit di
kepalaku, jangan di pantat. Nanti kalau aku kentut, telingamu bisa mendengarnya
meski aku sudah berusaha sepelan mungkin.”
Dia tertawa. Syukurlah, candaanku berhasil
membuatnya terhibur. Pasti membutuhkan usaha keras untuk mencabut
telingatelinga itu dari kepalanya. Aku tidak bisa membayangkan kegaduhan yang
terjadi di kosnya ketika dia melakukan hal itu. Kalau aku tahu dia akan melepas
telinganya sendiri, mungkin aku akan mencegahnya. Mungkin ya. Soalnya
sebenarnya aku juga senang sekali mendapat hadiah ini. Apalagi ini adalah
bagian dari dirinya. Aku berusaha keras mempertahankan ekspresi biasa saja
meski sekarang di dalam hatiku seperti ada perayaan tahun baru. Aku tahu dia
akan lebih senang kalau aku sedikit lebih memperlihatkan sikap antusias, tapi
aku memang tidak terbiasa untuk membuatnya senang. Dengan sahabatku itu, aku
hanya akan benar-benar menunjukkan keseriusanku ketika dia merasa sedih. Terus
terang saja, sahabatku itu namanya Ina dan aku jatuh cinta kepadanya.
Di
perpustakaan rumahku, ada 1 rak khusus yang kuperuntukkan bagi Ina. Rak itu
penuh berisi buku-buku tentangnya. Berjilid-jilid, Ina 1 sampai Ina 3. Ada juga
yang tidak murni berisi tentang dirinya, fiksi yang kubayangkan terjadi pada
kami. Sebenarnya aku ingin menyatukan Ina 1 sampai Ina 3, tetapi saking
tebalnya, aku takut aku tidak akan kuat mengangkatnya. Seperti judulnya, buku
itu berisi tentang Ina dan hal-hal yang aku tahu tentangnya. Seluruh kata-kata
yang dia keluarkan selalu kubawa pulang dan kutempel pada kertas-kertas. Dengan
begitu, aku bisa mengalahkan lupa.
“Kemarin Jose menghubungi aku lagi. Katanya
mau ketemu untuk membahas sesuatu,” katanya.
Ya,
terus terang saja, aku benar-benar jatuh cinta kepada sahabatku itu. Tapi,
sahabatku itu mencintai orang lain.
Aku menusuk
kuning telurku dengan garpu. Berharap itu adalah orang yang dia sebut namanya
barusan. “Bahas tugas, kan?” tanyaku acuh tak acuh.
“Iya, dia minta bantuan. Tapi, habis itu kami
ngobrolngobrol.”
“Dia hanya memanfaatkanmu,” kataku,
berusaha menancapkan kebencian.
“Dia
hanya memanfaatkanku,” kata Ina.
“Kepentingannya
hanyalah tugas dan dia berbicara panjang lebar denganmu untuk membuatmu
nyaman,” desakku sambil berharap kebencian itu tertanam makin dalam.
“Aku tahu kepentingannya hanyalah tugas dan
dia berbicara panjang lebar denganku untuk membuatku nyaman.”
“Berarti
kamu tolol.”
“Aku terlalu menyukainya sampai enggak bisa
mengabaikannya.”
“Tapi, dia sudah menyukai orang lain dan orang
lain itu sudah menjadi pacarnya.”
“Yaaa ... kalau sudah berusaha move on tapi
tetap enggak bisa, gimana, dong?”
“Ya itu tadi. Berarti kamu tolol. Bodoh.
Goblok.” Aku akan berterus terang lagi. Aku jatuh cinta kepada sahabatku,
sementara sahabatku itu mencintai seseorang yang sudah memiliki kekasih.
“Habis
mau bagaimana lagi,” desahnya putus asa.
“Dasar tolol.” Kecuali bibir, seluruh bagian
dari diriku bisa memaklumi Ina. Memahaminya semudah membaca diriku sendiri.
Sedangkan dia memahamiku semudah dia memahami struktur bebatuan di Mars. Tapi
kalau sudah cinta, mau seegois apapun niatnya, mau sebodoh apapun jadinya, yang
penting bisa dekat, kan? Yaa… habis mau bagaimana lagi…
***
“Aku ke
sini untuk meminta jawaban.” Perempuan itu manis. Dadanya juga besar. Kulitnya
yang kencang dan cerah membuatku bertanya-tanya apakah ibunya kawin dengan
matahari. Terkadang aku ingin mencoba membuka punggungnya untuk mencari tahu
apakah dia ini boneka robotyang diprogram untuk mengerjaiku, atau manusia
sungguhan. Habisnya aku heran, masa manusia seelok dirinya mau jauh-jauh datang
ke rumahku untuk menuntut satu jawaban yang sebenarnya dia sudah tahu?
“Bukankah
aku sudah menjawabnya?”
“Kamu tidak mengatakan tidak.”
“Tapi, sudah kubilang, kalau aku menyukaimu,
akan langsung kubilang iya.”
“Tapi, kalau kamu belum mengatakan tidak,
berarti masih ada kemungkinan untukku.”
Sesungguhnya,
aku tidak ingin menyakiti siapa pun perempuan, tetapi terkadang mereka lebih
suka disakiti daripada dibohongi. Jadi, apa boleh buat, aku meninggalkan Riri
untuk mengambil Ina 1 sampai Ina 3 (dengan troli, tentunya), lalu kuletakkan
buku-buku itu di hadapannya. Awalnya dia hanya melihat sampulnya saja, gambar
perempuan yang sama yang kulukis dengan tinta emas di atas latar hitam. Lalu
perlahan jemarinya yang kurus membuka Ina 1 dan matanya menelusuri halaman demi
halaman. Buku itu mungkin buku paling membosankan yang pernah kutulis sepanjang
sejarahku sebagai penulis amatir, jadi tidak heran kalau Riri sudah menutupnya
di 10 halaman pertama.
“Sekarang aku sedang menulis Ina 4,” kataku.
“Apakah kau menulis sesuatu untukku?” tanyanya
dengan tangan bersedekap di atas paha. Bola matanya yang keabuan sedikit lebih
berair daripada yang pernah kulihat selama ini. Memandanginya seperti ini
membuatku semakin yakin bahwa dia tidak berasal dari bumi. Rambutnya yang
keemasan bergaul begitu mesra dengan sinar matahari. Wajahnya yang pucat
semakin menampakkan bayangan bulu matanya yang lentik. Mungkin kalau tidak
sedang menyukai orang lain, aku akan berpikir bahwa dia adalah manusia terindah
yang pernah kulihat.
“Ada.”
Kukeluarkan notesku dan kubuka halaman tengahnya.
27 Januari:
Bertemu Riri.
Bibir merah mudanya yang kuduga mengandung
perisa stroberi itu langsung merekah. Air di matanya sekejap meresap. “Kalau
begitu, aku masih memiliki kesempatan,” katanya bersemangat. Aku baru akan
menjelaskan bahwa setiap janji pertemuan dengan siapa pun akan kutulis dalam
notes ini, tapi Riri sudah beranjak berdiri sambil berkata, “Cukup untuk
pertemuan hari ini. Aku senang sekali.” Lalu, dia melambaikan tangan dan keluar
dari rumahku tanpa aku sempat mengatakan apa pun lagi.
***
Ketika Ina
mengajakku bertemu hari ini, aku langsung mereka-reka apa yang ingin dia
perbincangkan. Seperti biasanya, setiap kali akan membicarakan sesuatu yang
serius dengannya, aku selalu lebih dulu merobek perut kananku, lalu mengambil
hatiku dari dalam sana. Hati itu kucelupkan ke dalam sebuah ember berisi semen
basah, lalu kujemur hingga kering, sebelum akhirnya kukembalikan lagi ke
tempatnya semula.
Untuk
berbagai kemungkinan yang bisa terjadi di pertemuanku nanti dengannya, aku
sudah mempersiapkan segalanya. Pisau setajam apa pun seharusnya tidak bisa menembus
pertahanan yang sudah kubuat.
“Jadi ... kemarin aku bertemu dengan Jose,”
dia memulai ceritanya dengan kedua tangan diletakkan di atas meja. Aku menyedot
es tehku, sambil membiarkan telinga-telingaku menangkap seluruh kata-katanya.
Untung sekali telingaku ada empat, jadi makin banyak ruang untuk menampung
seluruh katakatanya.
“Kami memang lebih banyak membahas tugas,
tetapi kemarin ini berbeda. Aku rasa hubungannya dengan Ivanda memburuk. Lalu
dia mulai membanding-bandingkan kelebihanku dengan kekurangannya Ivanda.”
“Itu karena dia tidak tahu kekuranganmu.”
“Katanya, aku lebih lucu daripada Ivanda. Juga
lebih enak diajak mengobrol. Katanya kalau sama aku, dia seperti enggak punya
batasan untuk cerita apa pun. Kalau sama Ivanda, dia kurang bebas. Cuma yang
bikin aku kalah dari Ivanda, katanya aku kurang bisa dandan. Tapi, sebenarnya
aku itu cantik, dia bilang begitu.”
“Daripada bilang begitu ke kamu, kenapa dia
nggak bilang langsung ke pacarnya biar masalahnya selesai?”
“Terus, dia tanya aku, gimana kalau dia putus.
Ya aku bilang, selama hubungan itu masih bisa diselamatkan, ya pertahankan.
Tapi kalau memang sudah enggak nyaman, daripada dipaksakan, ya lebih baik
putus. Siapa tahu ada orang yang diam-diam lebih sayang.”
“Ya kayak aku ke kamu, kan.”
“Terus waktu dia minta contoh siapa orang yang
diam-diam lebih sayang itu, aku jawab ‘Aku.’”
“Kalau kamu bertanya hal yang sama kepadaku,
aku juga akan menjawab begitu.”
“Terus dia tanya, kalau dia putus, aku akan
gimana.” Dia mengaitkan jari-jari tangannya begitu erat sampai buku-buku
jarinya memerah. “Ya aku jawab…”
“AKU SUKA SAMA KAMU!”
Selantang mungkin aku berteriak, supaya aku
tidak mendengar apa yang dia katakan barusan. Tapi percuma saja, dia sudah
kehilangan kemampuan pendengarannya. Semua orang di sini tahu bahwa aku
menyukainya dan hanya dia yang tidak mengetahui itu. Semua orang di sini bisa
melihat bahwa aku menyukainya dan hanya dia yang tidak menyadari itu. Untungnya,
semen yang kubuat untuk melapisi hatiku sudah sangat tebal sehingga aku tidak
lagi merasakan sakit hati.
Sekarang, aku menyesali keberadaan kedua
telinga tambahan ini. Aku memang bisa menampung lebih banyak ceritanya, tetapi
di saat itu juga dia akan semakin kehilangan kemampuannya untuk mendengarku.
Dia tidak akan pernah mengetahui apa yang kusembunyikan dalam hati berlapis
semen itu. Meski di sisi lain aku merasa membuatnya mengetahui itu hanya akan
mengantar persahabatan kami ke halaman terakhir Ina 4 dan tidak ada lagi Ina 5
dan seterusnya.
Jadi, hari itu juga, seusai pertemuanku dengan
Ina, aku cepat-cepat pulang untuk merobek perut kananku lagi. Aku ambil hatiku,
lalu kupukul dengan palu terbesar yang kumiliki. Kupukul-pukul sampai
sedikit-sedikit balutan semennya mencuil. Kupukul-pukul lama sekali. Pertahanan
yang kubuat sudah terlalu kuat sampai-sampai aku bingung sendiri bagaimana
harus menghancurkannya. Ketika pada akhirnya pertahanan itu hancur, hatiku juga
ikutan rusak. Patah sana sini. Tidak bisa ditambal lagi. Tapi, aku tidak
peduli. Masih ada seseorang yang bisa menerima hati ini, meski sudah tidak
utuh.
Aku
mengambil golok, kemudian membelah hati itu. Tidak sampai terputus. Hanya
supaya aku bisa memasukkan tangan ke dalamnya dan mengambil nama itu. Mencabut
nama itu dari tempatnya sesulit mencabut sebatang pohon tua dari akarnya.
Telapak tanganku hanya berisi luka dan darah, tapi itu sepadan dengan hasil
yang kudapatkan. Aku berhasil mencabut tiga huruf itu. Kalau sedikit lagi harus
berjuang, mungkin nafasku akan benar-benar habis. Kubaringkan tubuhku. Persetan
dengan lantai putih yang berubah warna menjadi merah, cuilan semen di sana
sini, potongan hati yang berserakan. Aku lelah. Aku sudah terlalu lelah. Aku
akan menyerah. Sudah cukup sampai di sini saja. Aku tidak akan lagi berusaha.
Tidak akan lagi.
Maka,
kuambil sebuah pena dan secarik kertas. Kutulis nama seseorang yang lain di
sana. Kujejalkan kertas itu ke dalam hatiku, lalu kujahit rapat-rapat. Jahitan
yang sudah selesai masih kulapisi dengan lakban hitam. Baru kemudian aku
memasukkan hati itu ke dalam perut kananku.
Aku
bersumpah, ini adalah kali terakhirku mengeluarkan hatiku.
***
Hari ulang
tahunku bertepatan dengan kencan keseratusku dengan Riri. Dia mengizinkanku
menyentuh salah satu buah dadanya, tapi aku langsung menolak. Daripada hanya
salah satu, aku menginginkan seluruhnya. Biar tidak nanggung. Tapi setelah itu,
giliran dia yang menolak. Pada akhirnya, dia memberikan kehadirannya sebagai
hadiah ulang tahunku.
“Hari ini adalah hari yang paling kusyukuri,
karena 25 tahun yang lalu, kamu hadir di dunia ini,” katanya sambil mengusap
punggung tanganku.
“Aku juga bersyukur karena kamu yang ada di
hadapanku saat ini.”
Dia masih sama, cantik dan bersinar. Seperti
putri yang terbuat dari sperma matahari. Di dalam hati yang tidak lagi utuh
itu, dia sudah menjadi yang nomor satu. Dengan syarat, aku harus melanggar
sumpahku. Tiga kali dalam sebulan, aku harus mengeluarkan hatiku dan
memperbarui kertas bertuliskan namanya. Kertas-kertas itu begitu mudah larut
meski aku sudah menggantinya dengan yang lebih tebal. Bagian paling
menjengkelkannya adalah setiap kali mengambil kertas itu, aku selalu mengetahui
ada sesuatu yang tidak seharusnya tumbuh di sana, tetapi akarnya selalu ikut
tercabut tanganku. Dan akar-akar itu seakan senantiasa tumbuh kembali, seperti
tidak mengenal mati, jadi aku harus sering-sering membersihkannya. Lama-lama,
dia bertumbuh semakin lambat. Lambat, lambat, dan lambat, sampai akhirnya
nyaris tidak ada.
“Terima kasih sudah menjadikanku gadis paling
beruntung selama 3 tahun ini.” Bibirnya yang mungil dan kenyal mengecup pipiku,
lalu dia pamit masuk ke dalam rumah. Aku sudah pernah mencobanya dan dugaanku
benar, rasa stroberi.
Sepanjang perjalanan pulang, berkali-kali
kupatri dalam otak bahwa aku adalah pria paling beruntung selama 3 tahun
belakangan. Dicintai oleh gadis berdada besar dan berbibir sempurna yang mau
menerima hatiku yang sudah compangcamping, kurang beruntung apa coba?
Barangkali,
hati yang sudah patah di sana-sini adalah sumber masalahnya. Biarpun masih bisa
digunakan, tetap saja tidak sempurna. Karena itu aku selalu merasa tidak utuh
meski apa yang kupunya saat ini adalah yang paling lengkap yang bisa kumiliki.
“Mas, tadi
ada yang kirim paket.” Iyah, pembantuku, langsung menghampiriku begitu aku
selesai memasukkan mobil ke garasi. Di tangannya ada sebuah kotak berbalut
lakban cokelat dengan tulisan: Fragile.
Seusai menerima benda itu, aku langsung
membawanya ke kamar. Tadinya aku berniat membukanya besok, karena paket itu
tampaknya sulit dibuka. Tapi, nama pengirimnya membuatku langsung mengambil
gunting dan membuka paket itu dengan membabi buta.
Di
dalamnya, ada sebuah kotak merah berisi sepucuk surat dan sebuah hati yang
koyakannya tidak jauh beda dengan kepunyaanku. Pertama, kubuka surat itu. Hanya
ada sebaris kalimat. Selamat ulang tahun! Kedua, kubuka hati yang sudah dijahit
di sana-sini itu. Di dalamnya, aku menemukan sebuah nama. Bukan di kertas, tapi
terukir pada dindingnya. Namaku.
Belum ada Komentar untuk "Cerpen Penjahit Telinga Oleh Benefitasari Intan"
Posting Komentar